Perahu Kertas
Perahu Kertas
Arif duduk diatas tempat tidur mama,
menunggu hujan yang tak reda dalam dua hari, selama itu Arif tak pergi ke TPQ,
selama itu pula dia tak diizinkan keluar rumah oleh mama. Genangan air di
halaman depan rumahnya makin meninggi, dia berharap hujan segera berhenti agar
bisa bermain perahu-kertas bersama teman-temannya diluar. Segera ia mengambil buku tulis dari dalam tas
diatas lemari. Dirobeknya buku tulis bagian tengah, dia mulai melipat-lipat, membuat
perahu kertas yang diajarkan nenek waktu berkunjung kerumahnya dua minggu lalu.
Arif berlari menuju ruang depan dan lalu berdiri diatas kursi panjang,
memegangi perahu kertas yang baru saja selesai dibuatnya, membuka jendela dan melongok keluar. Hujan
masih lebat dan bahkan rasanya semakin lebat, tak seorangpun teman dilihatnya.
Angin dingin menerpa wajahnya, meninggalkan titik-titik putih lembut di wajah
dan poni yang menutupi alisnya. Segera ia mengusapnya dan seketika itu wajahnya
telah menjadi basah.
"Mana mamamu??!!"
Tiba-tiba seorang laki-laki berkerudung plastik dengan basah kuyup,
mengagetkannya dari luar jendela. "Mana mama??!!" sambil
menggoncangkan kedua bahunya. Dia Om Lukman ternyata. Om lukman segera masuk
masuk meloncati jendela, karena tadi malam mama menyumpal sela-sela bawah pintu
dengan gulungan kantong plastik dan melarang Arif untuk membukanya.
"Aku di sini Man, tolong bantu aku!!." Teriak mama
dari dalam kamar sambil menggulung kasur. Om Lukman segera membopong Arif
kedalam kamar, tak disadarinya kamar tengah rumah sudah digenangi air, dan
ternyata tak hanya ruang tengah, tapi seluruh lantai rumahnya. Om Lukman mendudukan Arif disebelah gulungan kasur dan segera
memindahkan gulungan kasur itu keatas meja makan. Arif melongok kebawah tempat
tidur, memandangi air yang makin deras mengalir, makin lama makin meninggi di
lantai dalam rumahnya. Perahu-kertas masih dipegangnya dengan erat, dia masih
berharap, …semoga sebentar lagi bisa bermain perahu-kertas didalam rumah...
pikirnya.
Oke Rosgana
Saat banjir melanda Ibukota 2001
Komentar